Mengukir Prestasi di Era Layar Sentuh
Gunung Kidul – Pandemi memaksa kita belajar online dengan perangkat digital sebagai perantara. Perangkat touch-screen, dianggap solusi, namun kita juga mengkhawatirkan adanya kehilangan kesempatan belajar (learning loss). Lain daripada itu, terdapat kekhawatiran soal keamanan digital bagi siswa.
”Keamanan digital juga bisa berarti cara dan upaya untuk memaksimalkan keamanan pribadi pengguna teknologi/layanan digital dari ancaman keamanan terhadap informasi dan properti pribadi yang berkenaan dengan penggunaan internet dan kejahatan-komputer pada umumnya," ujar Ali Formen Yudha pada acara webinar literasi digital yang dihelat Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Gunung Kidul, DIY, Selasa (13/7/2021).
Dalam diskusi vitual bertema ”Menjadi Siswa Berprestasi di Era Layar Sentuh”, pengajar Universitas Negeri Semarang itu membahas isu seputar keamanan digital yang dihadapi anak dan siswa. Misalnya, perundungan (bullying) yang terjadi secara daring sering memanfaatkan berbagai fasilitas pesan singkat, email hingga media sosial.
”Kemudian perdagangan orang, pencurian data pribadi, pelecehan seksual dan pornografi. Bahkan penipuan, kekerasan – verbal dan psikis, lalu memicu fisik, dan kecanduan,” papar Ali di depan lebih dari 600 partisipan webinar.
Ali menyatakan, selama 2017-2019 telah terjadi 1.940 kasus pengaduan anak terkait pornografi dan kejahatan siber. Sebanyak 281 anak menjadi korban perundungan di media sosial, 291 anak menjadi pelaku perundungan di media sosial, 299 anak menjadi pelaku kejahatan seksual di internet, 316 pengaduan anak pelaku kepemilikan media pornografi, 329 anak menjadi korban kejahatan seksual di internet, dan 426 anak menjadi korban pornografi dari media sosial.
Agar terhindar dari segala bentuk kejahatan anak di media digital, Ali menyarankan beberapa langkah berikut, masing-masing: tetapkan larangan untuk diri sendiri dan selektif dan fokus pada tujuan; ikuti komunitas yang mendukung belajar dan menggembirakan; kendali
dunia digital; buat kesepakatan dengan keluarga.
Ali menambahkan, mengenali dan memahami privasi juga perlu dilakukan karena sebagian adalah menyangkut masa depan. Maka bersikap kritis pada saat on/offline tetap diperlukan.
”Membuka keran komunikasi dengan orangtua dan guru sekolah, menciptakan keseimbangan dalam keluarga, menyadari batasan usia, dan terus belajar mengembangkan diri, adalah kunci keamanan bermedia digital,” tegas Ali.
Berikutnya, penulis dan budayawan Muhammad Jadul Maula mengatakan, gadget membuat banyak orang mager (malas gerak), bahkan anti sosial. Perilaku mager pada anak dikhawatirkan membuat anak-anak mengalami obesitas.
Jadul membuat analogi era digital yang ditandai maraknya gadget dengan lakon Cupu Manik Astagina dalam cerita pewayangan. Menurutnya dalam cerita pewayangan sudah ada teknologi gadget, yaitu berwujud Cupu Manik Astagina yang mampu melihat dunia lain dan meramalkan kejadian yang akan datang.
”Leluhur kita sejak lama sudah mengingatkan tentang kejadian hari ini. Lewat cerita Cupu Manik yang jadi rebutan oleh Putri Anjani dan dua saudaranya, sesungguhnya banyak ajaran nilai moral etika yang bisa dipetik oleh generasi sekarang,” ujar Jadul.
Dalam paparannya Jadul berpesan kepada peserta yang kebanyakan siswa sekolah menegah, untuk meneladani sikap kesatria tokoh Hanoman (putra Dewi Anjani).
”Meskipun berwujud kera putih, namun tokoh Hanoman memiliki tiga prestasi: cinta pengetahuan, berani dalam kebenaran, dan suka menolong,” ucap Jadul.
Acara webinar yang dipandu moderator Rio Siswanto, juga menghadirkan narasumber Prasidono Listiaji (Pimred agendaindonesia.com), Joko Susilo (Founder Komunitas Gunung Kidul), dan Duta bahasa Provinsi Jawa Tengah 2018 Rosaliana Intan Pitaloka selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment