Mengetahui Rekam Jejak Digital di Dunia Maya
Kudus – Ibarat sebuah ”bom ranjau” yang tertanam di tubuh penggunanya, jejak digital bisa berisiko ”meledak” sewaktu-waktu jika ada pihak-pihak tertentu yang mengincar pemiliknya sebagai target.
Menyampaikan paparan berjudul: Bijak Sebelum Mengunggah di Media Sosial, staf pengajar UHN IGB Sugriwa Denpasar Dewi Bunga bicara sebagai seorang narasumber pada acara webinar literasi digital yang dihelat Kementerian Kominfo bagi masyarakat Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Selasa (6/7/2021).
Dalam diskusi secara virtual yang dipandu moderator Subki Abdul itu, Dewi Bunga secara khusus menyorot persoalan jejak digital bersama narasumber Selfi Helpiastuti (dosen Fisip Universitas Jember), Suwoko (Pemred Betanews.id), Ahmad Uzair (staf BPIP Jakarta), dan Mahe Wijaya selaku key opinion leader.
Saat masuk ke dunia internet, pengguna internet meninggalkan jejak digital (footprint). Beberapa jejak digital yang tertinggal ketika kita masuk dunia maya: postingan di media sosial, pencarian di google, tontonan di youtube, pembelian di marketplace, jalur ojek online, games online yang dimainkan, aplikasi yang diunduh, musik online yang diputar, situs web yang dikunjungi, dan sebagainya.
Meski begitu, jejak digital menurut Bunga dibedakan menjadi dua, yakni jejak digital aktif dan jejak digital pasif. Jejak digital aktif biasanya berupa data atau informasi yang sengaja diunggah seseorang ke dunia maya. Contohnya, kicauan di twitter, status facebook, foto dan video postingan di instagram, video youtube.
”Sedangkan jejak digital yang pasif merupakan data yang 'ditinggalkan' tanpa sadar oleh pengguna ketika berselancar di dunia maya. Contoh: server menyimpan alamat IP, lokasi dan search history,” ujar Bunga.
Selanjutnya, Bunga juga mewanti-wanti pengguna internet untuk lebih berhati-hati terkait potensi bahaya jejak digital dalam hal akses data pribadi, pencurian identitas, juga doxing dan framing atau pencemaran nama baik dengan cara mengolah segala aktivitas digital yang pernah kita lakukan baik di website, blog, maupun media sosial.
Informasi di siber pada dasarnya bersifat permanen. Untuk itu, Bunga menambahkan, berpikir kritis sebelum posting adalah penting. Hal itu mengingat apa pun yang ada di ruang siber mudah diduplikasi dan disebarluaskan, tetapi sulit dilenyapkan sekalipun sudah terhapus.
”Pahami circle lingkungan interaksi kita, tidak mengumbar data pribadi, unggah hal positif. Jangan hanya demi konten, kamu berbangga memposting hal buruk, cyberbullying, menghasut, ujaran kebencian, atau bahkan rasisme,” pesan Bunga kepada peserta webinar.
Sesuai tema, narasumber dari BPIP Ahmad Uzair bicara tentang rekam jejak digital dan konsekuensinya di platform digital. Riset ”Imagining the Internet Center” dari Elon University dan riset ”Internet and Technology Project” oleh Pew Research Center dengan 1.000 ahli menjadi responden:
”Sebanyak 49 persen berpendapat penggunaan teknologi digital akan membahayakan demokrasi dan representasi demokratis; 33 persen berpendapat bahwa teknologi digital akan lebih banyak memberikan manfaat pada demokrasi; 18 persen mengatakan tidak akan terjadi perubahan signifikan karena teknologi digital,” papar Uzair.
Labih jauh Uzair mengatakan, mereka yang berkuasa akan berusaha melanggengkan kekuasaan dengan cara membangun sistem yang menguntungkan mereka. Pengawasan berbasis jejaring yang diciptakan oleh platform digital (digitally-networked surveillance capitalism) akan menciptakan hierarki antara mereka yang punya akses pada data yang dikumpulkan dan mereka yang tidak punya akses. ”Tidak adanya literasi digital akan melemahkan ikatan masyarakat dan demokrasi,” tegas Uzair. (*)
Post a Comment