Mendidik Anak di Era Digital
Sleman – Anak-anak kini begitu bergantung pada perangkat digital. Pada akhirnya teknologi telah mengubah cara anak berpikir dan memproses informasi hingga kemudian menjadikan sulit bagi anak untuk unggul secara akademis menggunakan metode pengajaran yang lampau.
Keresahan orang tua atas kehadiran teknologi digital memantik keseruan diskusi virtual bertema ”Menanamkan Nilai, Etika, dan Moral Dasar bagi Kegiatan anak Bangsa” yang diselenggarakan Kementerian Kominfo untuk warga masyarakat Kabupaten Sleman, DIY, Jumat (9/7/2021).
Bagaimana tidak, selain mengubah cara berpikir hingga sulit menjadi unggul secara akademis, kehadiran teknologi digital utamanya media sosial juga berperan cukup signifikan mengubah pola tidur anak.
”Anak-anak menjadi begitu penasaran dan tak pernah lepas dari gawainya hanya untuk senantiasa bisa memantau unggahan teman-temannya. Sementara masalah kurang tidur bisa berdampak kepada masalah kesehatan lain,” tutur CEO Sempulur Craft Imam Wicaksono.
Untuk mengiliminir dampak buruk teknologi digital – khususnya media sosial, Imam menyarankan orang tua membentuk pendidikan tatakrama digital kepada anak. Ia memberikan contoh agar anak selalu memberikan salam saat membuka obrolan, dan mengucapkan terima kasih saat menutup obrolan.
”Gunakan salam yang tepat. Salam merupakan kalimat pembuka obrolan yang cukup efektif dan netral. Anak-anak hendaknya diberikan pemahaman dan keteladanan macam ini dalam memulai obrolan.
Begitu juga ucapan terima kasih saat menutup obrolan,” ujar Imam.
Selain greeting, anak-anak juga harus diberi pemahaman bahwa menghapus tidak berarti menghilangkan, karena begitu sesuatu masuk dalam jaringan, akan selalu dapat ditemukan.
Pemahaman lainnya, tidak takut mengaku salah dan malu meminta maaf. Meskipun malu mengaku salah, bahkan enggan meminta maaf merupakan problematika lintas usia, namun budaya malu berbuat salah, mau mengakui kesalahan, hingga meminta maaf hendaknya dikondisikan semenjak dini.
Selanjutnya lanjut Imam, berpikir sebelum membuat unggahan. Seringkali unggahan dibuat untuk menyatakan kondisi emosi. Seyogyanya tanamkan kepada anak kebijaksanaan dalam setiap unggahan.
”Ingatkan bahwa nada dan intonasi bisa salah saat dibaca secara daring. Untuk itu berikan pemahaman dan pendidikan yang baik dalam penulisan,” tegas Imam.
Imam menambahkan, fenomena cyberbullying juga menjadi kasus yang semakin mengemuka dan populer. Tak jarang berawal dari cyberbullying kemudian menjadi konflik terbuka. ”Orang tua hendaknya menjadi teladan yang baik dan memahami jika gawai bukanlah alat penenang emosi anak,” pungkasnya.
Sementara praktisi pendidikan Anggraini Hermana mementingkan penanaman moral untuk anak. Ia menyatakan, moral adalah salah satu bagian dari tatanan hidup masyarakat. Kebanyakan orang cenderung bertindak secara moral dan mengikuti pedoman sosial.
Anggraini menambahkan, moral adalah tata yang bisa berbeda dari satu daerah ke daerah lain. Wilayah geografis, agama, keluarga, dan pengalaman hidup semuanya mempengaruhi moral. Moral adalah konsep yang bisa berubah seiring perkembangan manusia.
”Moral mengacu pada sanksi masyarakat apa yang benar dan dapat diterima. Orang yang melanggar standar moral adalah orang yang disebut dengan amoral,” ucapnya.
Webinar yang dipandu moderator Mafin Rizqi itu, juga menghadirkan Fira Kumala Sari (CEO Pharsa), Adhi Wibowo selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment