Kiat Santri Menyikapi Dakwah di Media Sosial
Yogyakarta – Sebelumnya, otoritas keagamaan hanya dimiliki oleh para ulama, ustadz, mursyid, guru agama, dan pemerintah melalui Kementerian Agama. Namun, saat ini otoritas keagamaan direngkuh oleh media baru yang tampak impersonal dan berbasis pada jejaring informasi. Setiap orang dengan mudah mengakses pengetahuan menurut selera dan kebutuhan masing-masing.
Pengajar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Waryani Fajar Riyanto menyampaikan pendapatnya pada webinar literasi digital bertema ”Kiat Santri Menyikapi Dakwah di Media Sosial” yang dihelat Kementerian Kominfo bagi masyarakat Kota Yogyakarta, DIY, Kamis (1/7/2021).
Acara virtual yang dipandu moderator Subki Abdul, menampilkan narasumber Savic Ali (praktisi digital), Gus Na’im (Pimpinan Al Lukmaniyyah), Kholilul Rohman (Ketua Pengasuh Asosiasi Pesantren), dan Miss Halal Tourism Indonesia Riska Yuvista sebagai key opinion leader.
Cyberreligion dunia virtual dengan sejumlah aktivitasnya, kata Fajar, pada titik tertentu dianggap dapat menggantikan dunia nyata, sehingga makna substansial ajaran agama mengalami ancaman serius. Namun demikian, semua fenomena ini tetap dapat dipandang sebagai ’kegairahan baru’ bagi agama pada masa depan.
Pertama, problem pemahaman agama. Media elektronik sangat terbuka dan bisa diakses oleh masyarakat umum tanpa ada batasan. Ruang digital menyediakan pelbagai konten, termasuk konten ceramah dan narasi keagamaan yang tanpa kontrol.
Akibatnya, lanjut Fajar, tidak jarang narasi keagamaan di media digital kemudian melahirkan pemahaman yang bias dan cenderung membenarkan satu kelompok dan menyalahkan yang lain (radikal dan ekstrem). ”Dari titik inilah, melahirkan kelompok dengan fanatisme keagamaan yang absolut, eksklusif dan tidak permisif terhadap keragaman lalu mengkafirkan yang lain," tegas Fajar.
Padahal, mereka mendapatkan pengetahuan dari ruang-ruang digital yang bebas dan liar. Realitas demikian diperkeruh dengan fenomena post-truth (pasca kebenaran) yang berpotensi mempertajam polarisasi di masyarakat dengan ditandai semakin viralnya pemahaman yang tendensius mengusung sentimen agama, ras dan kelompok kepentingan yang dapat menjadi tantangan sekaligus hambatan dalam memacu keberlanjutan pembangunan nasional.
Kedua, pergeseran otoritas keagamaan. Otoritas keagamaan adalah persoalan yang selalu diperdebatkan. Namun, dalam konteks perkembangan dunia teknologi yang tak dapat dibendung, seringkali otoritas keagamaan bergeser dari personal kepada impersonal.
”Akibatnya, kehidupan keagamaan mengeras berdasar keyakinan yang dimiliki masing-masing tanpa rambu-rambu. Dalam melihat sisi perbedaan, yang ada hanyalah fanatisme yang kemudian melahirkan intoleransi,” jelas Fajar.
Ketiga, pola pikir dan perilaku masyarakat yang berlebihan. Kegandrungan terhadap teknologi telah membawa masyarakat dalam ekstasi konsumerisme keagamaan. Ilmu pengetahuan yang diserap secara bebas melalui kanal-kanal informasi digital menjadi sandaran untuk bertindak sesuai dengan yang diperoleh dari media tersebut.
”Padahal, media baru dengan karakteristiknya yang praktis dan multitasking banyak mereduksi pemahaman agama yang moderat, toleran dan penuh kasih sayang,” ujar Fajar.
Pada kesempatan itu Fajar juga memaparkan istilah ’Religion Online’ dengan ’Online Religion’. Religion Online merupakan informasi agama yang disajikan secara online, atau agama sebagai informasi (situs berita lazimnya atau blog).
“Informasi atau layanan mengenai kelompok-kelompok dan tradisi-tradisi agama. Hal ini termasuk jutaan situs yang didirikan oleh jemaat gereja, masjid, kuil dan sinagog, seperti halnya juga dapat ditemukan pada lembaga-lembaga keagamaan seperti situs-situs komersial menjual banyak buku keagamaan yang disajikan secara online," urai Fajar.
Sedangkan ’Online Religion’ (beragama secara online). Agama sebagai aktivasi (pengajian online): ”Mengajak para pengguna internet untuk berpartisipasi dalam praktik-praktik keagamaan secara online,” kata Fajar.
Sementara itu, pegiat literasi yang sekaligus tokoh muda NU Savic Ali bicara tentang jagat digital yang banyak disesaki oleh ujaran kebencian bersifat keagamaan. Savic menyebut keadaan itu sebagai ’We are Living Under the Dark Cloud of Hatred’.
Sebagai negara yang masyarakatnya menganggap penting kehidupan agama, Indonesia harus bisa menjadikan jagat digitalnya menjadi ’clear cloud’. ”Caranya dengan membanjiri terus konten-konten positif,” tegas Savic. (*)
Post a Comment