Jalan Tengah Perbedaan, Indahnya Bermoderasi di Media Sosial
Kendal - Moderasi dan penanaman nilai-nilai keagamaan melalui online perlu dilakukan kepada talenta digital. Hal ini menjadi upaya dalam meminimalisir timbulnya intoleransi saat berinteraksi dan beraktivitas di dunia maya. Pasalnya, isu agama masih menjadi sasaran empuk untuk diserang.
Topik tersebut hangat didiskusikan dalam webinar yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk masyarakat Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Sabtu (24/7/2021). Diskusi virtual ini galibnya merupakan bagian dari program nasional literasi digital yang kini tengah digaungkan dalam mencapai masyarakat yang cakap digital di era transformasi digital.
Bersama Bella Ashari sebagai pemandu acara, diskusi diikuti oleh 300-an peserta, juga narasumber yang cakap di bidangnya. Mereka adalah Iwan Gunawan (praktisi community development), Septa Dinata (researcher Paramadina Public Policy), Nuzran Joher (anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI), Handono (kepala MAN Salatiga), juga Masayu Dewi (content creator) sebagai key opinion leader. Masing-masing pemateri menyampaikan tema diskusi serta kaitannya dengan pilar literasi digital: digital ethic, digital safety, digital culture, dan digital skill.
Nuzran Joher dalam paparannya mengatakan, menyampaikan konten keagamaan di dunia digital termasuk dalam kebebasan berekspresi yang dilindungi hak-haknya di bawah payung hukum. Namun banyaknya ragam agama juga rentan menimbulkan sikap tidak toleran di media sosial, sehingga diperlukan moderasi beragama agar lingkungan digital tetap nyaman.
"Moderasi beragama merupakan kunci toleransi dan kerukunan. Ia diperlukan karena sikap ekstrem dalam beragama tidak sesuai dengan esensi ajaran agama itu sendiri. Moderasi beragama adalah upaya mengembalikan pemahaman dan praktik beragama agar sesuai dengan esensinya untuk menjaga harkat, martabat dan peradaban manusia," jelas Nuzran.
Setidaknya ada empat hal yang menjadi karakter dalam bersikap moderat, baik itu dalam hal keagamaan atau lainnya. Yaitu dengan menanamkan dan menumbuhkan rasa cinta tanah air, memiliki toleransi tinggi terhadap perbedaan, anti kekerasan dan menghormati budaya lokal.
"Mengekspresikan agama di dunia maya juga memiliki batasan, yakni dengan tidak melakukan hal yang dilarang seperti perundungan, ujaran kebencian, tidak menyebarkan hoaks dan informasi palsu. Sebab dalam berekspresi itu meskipun bebas tetap ada hak-hak orang lain yang harus dilindungi," jelasnya.
Sementara itu Handono menambahkan, ada tiga pilar dalam moderasi beragama. Yakni, moderasi dalam pemikiran yang berdasarkan teks juga konteksnya; moderasi gerakan yaitu bagaimana kita mengajak pada kebaikan dengan cara yang baik; serta moderasi perbuatan yang ditandai dengan penguatan relasi antara agama dengan muatan lokal.
Sebab dalam kenyataannya diskursus moderasi itu bukan hanya untuk di agama Islam yang menjadi mayoritas tetapi juga untuk agama-agamanya.
"Hadirnya globalisasi menimbulkan paham ekstrem, sehingga perlu memahami isu-isu penting yang menjadi dasar untuk menerapkan moderasi beragama. Yakni isu tentang aliran yang menyimpang, isu tentang Islam sebagai korban, isu tentang musuh agama Islam, dan isu jihad. Hal itu menjadi sekam bagi intoleransi dan radikalisme," jelas Handono.
Sedangkan media sosial sebagai media belajar perlu dibarengi etiket dan etika agar tercipta moderasi di koridor kebaikan. Dalam penyebaran keagamaan diperlukan etika agar tidak menimbulkan kerugian baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
"Yakni dengan berpatokan bahwa konten yang disebarkan itu mengandung kebenaran dan memberikan manfaat. Jika ingin mengunggah konten yang butuh izin dari empunya maka etikanya dengan meminta izin dulu dari yang punya konten. Lalu mengunggah informasi yang penting saja serta mengunggahnya dengan rasa tanggung jawab dan tidak menyinggung orang lain," pungkasnya. (*)
Post a Comment