Dua Wajah Teknologi Digital: Menyenangkan sekaligus Menyeramkan
Banjarnegara - Perkembangan internet telah lama diprediksi akan memicu terjadinya Digital Dystopia atau juga disebut Dystopian.
Dystopia menunjuk pada kondisi kehidupan masyarakat yang tidak diinginkan atau bahkan sangat menakutkan.
Dystopia merupakan lawan kata dari Utopia/Utopian, yang berarti bayangan kehidupan yang sangat diinginkan dari perkembangan teknologi digital.
"Wajah seram Dystopian pada teknologi digital contohnya aksi hoaks atau penyebaran berita bohong, fitnah, hate speech, politik identitas, dusta yang dipercaya, polarisasi politik ideologis, dan sejenisnya," ujar
dosen senior Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Yogyakarta Muhammad Najib Azca dalam webinar literasi digital
besutan Kementerian Kominfo dan Debindo bagi warga Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Senin (5/7/2021).
Dalam webinar yang mengangkat topik "Dua Sisi Koin Perubahan Sosial dalam Transformasi Digital" itu, Najib mengatakan lawan dari Dystopian adalah Utopian.
"Wajah cerah Utopian dari perkembangan teknologi digital seperti terciptanya jejaring global, kreativitas, kolaborasi, inovasi dan hal-hal yang positif dari dunia digital itu," kata Direktur Youth Studies Center Fisipol UGM (YOUSURE) itu.
Dalam webinar yang juga menghadirkan narasumber Agus Supriyo (Jelajah.Live), Danang Prianto (Rootzie Bag), Imam Wicaksono (Sempulur Craf), dan dipandu moderator Dwiky Nara serta key opinion leader Sherrin Tharia itu, Najib Azca mengatakan untuk dapat memanfaatkan perkembangan teknologi itu dengan semangat positif, bukan sebagai kelompok dystopian, yang menjadi kunci ada dua hal.
"Inovasi dan kolaborasi adalah kuncinya. Sebab disrupsi digital saat ini telah menghasilkan transformasi besar yang hanya bisa dijawab dengan inovasi dan kolaborasi itu," kata Najib.
Kombinasi disrupsi digital plus kondisi pandemi Covid-19 saat ini telah mengakselerasi transformasi revolusioner di jagad raya.
"Kita juga perlu memiliki semangat kewarganegaraan digital yang demokratis dan beradab. Dengan contohnya memperkuat literasi digital kritis, yakni partisipasi sebagai masyarakat yang kritis, produktif dan bertanggung jawab," ujar Najib.
Semangat itu tertuang dalam bagaimana cara kita mengevaluasi terhadap akurasi, perspektif, dan validitas sumber informasi digital.
"Juga, bagaimana menempatkan dan mengembangkan ruang digital untuk berperan bersama dan saling menghormati pengguna atau warga digital lain," imbuh Najib.
Menurut Najib, tiap pengguna dapat memanfaatkan perkembangan teknologi digital untuk terlibat dan menjadi kekuatan positif di masyarakat," katanya.
Imam Wicaksono, CEO Sempulur Craft mengatakan, ruang digital memiliki norma-norma etika yang juga harus diterapkan sama layaknya dunia nyata. Khususnya dalam aspek komunikasi, baik langsung maupun tak langsung.
"Untuk menjaga komunikasi tak langsung dalam dunia digital ini gunakan bahasa tulis yang baik, kurangi penulisan singkatan, dan responlah cepat. Itu sebagai bentuk penghormatan pemberi pesan," kata Imam.
Sebagaimana wilayah lain, di Kabupaten Banjarnegara Kementerian Kominfo juga akan menyelenggarakan serangkaian kegiatan Webinar Literasi Digital: Indonesia Makin Cakap Digital selama periode Mei hingga Desember 2021.
Serial webinar ini bertujuan untuk mendukung percepatan transformasi digital, agar masyarakat makin cakap digital dalam memanfaatkan internet demi menunjang kemajuan bangsa.
Warga masyarakat diundang untuk bergabung sebagai peserta dan akan terus memperoleh materi pelatihan literasi digital dengan cara mendaftar melalui akun media sosial @siberkreasi. (*)
Post a Comment