Demokrasi Digital di Media Sosial
Purworejo – Tak dapat dimungkiri, perkembangan media sosial akhir-akhir ini telah turut andil dalam menentukan kebijakan di negeri kita.
Media sosial nyatanya telah memberikan dampak terhadap perubahan dunia, bahkan pola pikir masyarakat dapat berubah dengan menerima informasi dari media sosial.
Istilah facebookers, tweeps, IG-ers adalah ungkapan yang kerap muncul untuk memonitor pelaku yang aktif bermedia sosial mewakili Facebook, Twitter, dan Instagram. Perilaku ini setidaknya melibatkan berbagai pihak dan tanpa mengenal kategori (bercampur), baik berupa batasan umur, gender, agama, suku, asal daerah dan sebagainya.
”Kadang, informasi yang disuguhkan di media sosial ini juga sangat rentan keabsahannya, mengingat sumber yang tidak jelas (sumir), referensi tidak akurat, bahkan anonim,” ujar Hujatullah Fazlurrahman pada acara webinar literasi digital bertajuk ”Media Sosial sebagai Sarana Meningkatkan Toleransi dan Demokrasi” yang dihelat Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Kamis (15/7/2021).
Pada diskusi virtual yang dipandu oleh moderator Mafin Rizqi itu, turut hadir narasumber Mujiantok (Founder Atsoft Technology), M. Nurkhoiron (Yayasan Desantara), Farid Mustofa (Dosen Filsafat UGM), dan entertainer Sindy Fung selaku key opinion leader.
Hujatullah Fazlurrahman mengatakan, banjirnya arus informasi yang ada di internet disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, faktor proses produksi pesan; Kedua, kemudahan dalam membagikan konten; Ketiga, ketergantungan masyarakat.
Ketergantungan masyarakat terhadap informasi digital, lanjut Fazlur, berkaitan dengan membanjirnya arus informasi. Semakin tinggi popularitas sebuah informasi maka akan semakin mudah terjangkau oleh audiens, baik pembaca ataupun penonton.
”Semakin banyak audiens yang terjangkau oleh informasi, maka kemudian semakin luas akses dan respon terhadap informasi tersebut. Hal ini kemudian kita kenal sebagai istilah viral,” ucap Fazlur di depan lebih dari 800 partisipan acara webinar.
Lebih jauh, staf pengajar Universitas Negeri Surabaya (Unessa) itu mengatakan, bangsa Ini terdiri dari berbagai macam etnis, budaya, bahasa, bahkan agama. Pelaksanaan toleransi antarumat beragama akan tercipta jika masyarakat dalam kehidupan sehari-hari memperlihatkan dan mempertimbangkan sikapnya dengan baik dan bijak kepada orang lain.
”Toleransi mampu membentuk kemungkinan-kemungkinan sikap, antara lain: sikap untuk menerima perbedaan, mengubah penyeragaman menjadi keragaman, mengakui hak orang lain, menghargai eksistensi orang lain, mendukung secara antusias terhadap perbedaan budaya dan keragaman ciptaan Tuhan Yang Maha Esa,” jelas pakar literasi digital itu.
Menurut Fazlur, selain dalam hal toleransi, media sosial juga berperan penting dalam kehidupan demokrasi. Begitu kuatnya pengaruh medsos dalam mengatur ritme opini publik membuat daya tarik medsos bagi kelompok kepentingan semakin kuat.
”Alhasil, setiap ada perhelatan pemilu atau pilkada, dapat dipastikan ada formasi tertentu yang khusus menjadi ’pasukan cyber’,” cetus Fazlur.
Dari keadaan yang ada dan pentingnya media sosial dalam dasawarsa ini, tak salah juga kiranya media sosial menjadi entitas "partai maya". Adanya kebuntuan aspirasi ini menyebabkan semakin intensnya pengguna media sosial.
”Melihat kenyataan ini, para penyelenggara negara pun akhirnya banyak yang menjadikan media sosial sebagai jembatan untuk menyerap aspirasi publik di samping juga menjadi media sosialisasi program atau kebijakan yang telah dilakukannya,” tegas Fazlur.
Fazlur menambahkan, fenomena media sosial yang semakin masif ditambah juga dengan kemudahan akses baik melalui komputer maupun gadget (smartphone), serta media portabel lainnya menambah semarak permedsosan di Tanah Air.
”Selain sebagai penyuara aspirasi, media sosial juga berfungsi sebagai kontrol sosial. Empat pilar literasi digital diharapkan dapat membantu tingkatkan toleransi dan demokrasi masyarakat di ruang digital untuk mendukung transformasi digital,” pungkasnya.
Berikutnya, dosen Filsafat UGM Yogyakarta Farid Mustofa menyatakan, media sosial adalah ”Zeitgeist” atau jiwa zaman. Sebagai jiwa zaman, media sosial telah menjelma sebagai ”elan vital” dan bagian tak terpisahkan kehidupan manusia.
Farid menyatakan, ada dua dampak nyata atas fenomena kehadiran media sosial. Pertama, meningkatnya daya kritis masyarakat. Jika dulu orang takut bicara, kini orang berlomba-lomba untuk kritis. Media muncul di mana-mana, dan berkat media sosial setiap orang bisa menjadi juru bicara persoalan masyarakat.
”Kedua, masyarakat ingin semakin terlibat. Jika dulu masyarakat pasrah hidupnya diatur oleh negara, kini masyarakat ingin terlibat dalam proses pengambilan keputusan di tingkat desa sampai tingkat nasional,” ujar doktor lulusan Universiteit Leipzig Jerman itu.
Namun, lanjut Farid, kemajuan peran internet telah membuat pemerintah di banyak negara risau. Kerisauan pemerintah ditunjukkan dengan berbagai tindakan untuk memblokir konten, memata-matai (surveillance) netizen dan mengidentifikasi aktivis dan mengkriminalisasi pendapat/ekspresi yang sah.
Menurut Farid, maraknya media sosial merupakan salah satu bentuk demokrasi digital. Karena media massa dikontrol oleh pemerintah dan korporasi media, dalam masyarakat jejaring (network society) komunikasi otonom terjadi dalam jaringan internet (internet network).
”Terjadi perluasan ruang publik dan sosial politik ke cyberspace (dari wilayah offline meluas ke wilayah online),” tegas Farid.
Media sosial, tambah Farid, juga merupakan cerminan ekspresi kebebasan berpendapat. Untuk mengemukakan pendapat, baik di dunia nyata maupun dunia maya, adalah hak yang dilindungi oleh negara dan hukum internasional.
”Konvenan Sipil PBB ayat 19 menyatakan, setiap orang berhak untuk berpendapat dan merdeka untuk berekspresi serta mencari, menerima, dan mendapatkan informasi,” pungkasnya. (**)
Post a Comment