Menerapkan Adab Ketimuran dalam Bermedia Sosial
Wonosobo - Budaya rupanya tidak bisa ditinggalkan meskipun saat berada di ruang digital, khususnya saat berinteraksi dengan warga digital. Sayangnya, banyak orang sering lupa bahwa ruang digital sebenarnya ruang publik yang berbeda platform dari dunia nyata. Dan, banyak orang lupa menjaga kesopanan di dalam ruang digital.
Permasalahan interaksi dan budaya dalam bermedia tersebut merupakan materi dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan untuk masyarakat Kab. Wonosobo, Rabu (16/6/2021). Kegiatan virtual ini menghadirkan narasumber: Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Budi Luhur Denis Iswardani Witarti, Ahmad Syaifullah dari STAI Khozinatul Ulum Blora, pegiat literasi Yanuar Diruh Saputra, dan dosen Universitas Jember Supranoto. Tampil juga key opinion leader Raffi Albeira dan moderator acara Kneysa Sastrawijaya.
Webinar literasi digital itu sendiri merupakan program dari pemerintah RI untuk mencapai masyarakat yang cakap digital dengan berpegang pada empat pilar: digital culture, digital ethics, digital safety, dan digital skill.
Denik Iswardani memantik diskusi dengan menyebut bahwa untuk bermedia sosial dengan bijak dan bersahabat maka penggunanya harus mampu menciptakan budaya yang menyenangkan. Namun, dalam kenyataan, di era digital ini banyak sekali ditemukan perundungan siber atau cyber bullying.
"Contoh kasus yang sering terjadi adalah perundungan di ruang digital. Cyber bullying dapat terjadi dalam beberapa konteks, bisa jadi saat chatting atau saat bermain game," jelas Denik.
Dalam kasus perundungan siber, lanjutnya, sering kali pengguna media sosial dalam berkomentar atau berinteraksi tidak sengaja melakukannya.
"Komentar tentang body shaming misalnya yang sering kita jumpai bisa menimbulkan rasa tidak nyaman. Meskipun dalam kacamata pelaku, komentar sederhana seperti mengomentari berat badan atau penampilan seseorang dianggap normal, namun jika dilakukan secara berulang komentar serupa bisa menimbulkan efek seperti dipermalukan," papar Denik.
Selain body shaming, mom shaming bahkan beauty shaming pun sangat dengan mudah ditemukan di ruang digital. Hal tersebut seharusnya menjadi peringatan dan koreksi.
"Istilahnya, kalau di dunia digital itu ajining diri gumantung ana ing driji. Jati diri kita itu tergantung pada jari-jari kita saat berinteraksi di ruang digital. Sebab dunia digital menjadi pintu gerbang pergeseran yang ada di masyarakat. Dan apa yang kita lakukan di sana bisa menjadi budaya, karena manusia merupakan agen budaya yang bisa menciptakan budaya baru," imbuhnya.
Denik menegaskan agar kita selalu berhati-hati dalam memberikan komentar. Serta saling mengingatkan untuk tidak menormalkan cyber bullying dan membuatnya menjadi budaya di ruang digital. (*)
Post a Comment