Literasi Digital yang Berkebudayaan
Boyolali – Beragam jenis media terus berkembang dan bermunculan
dalam kehidupan digital.
Sementara ketergantungan manusia untuk mendapatkan informasi dan berinteraksi melalui media juga makin meningkat. Sehingga manusia makin dipengaruhi bukan hanya oleh konten-konten media, namun juga cara-cara manusia dalam menggunakan dan mengakses media.
Demikian uraian pendapat Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS) Nyarwi Ahmad pada acara webinar literasi digital bertema ”Literasi Digital yang Berkebudayaan” suguhan Kementerian Kominfo bagi masyarakat Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (25/6/2021).
Acara virtual yang dipandu oleh moderator entertainer Bobby Aulia ini, juga menampilkan narasumber: Fransiska Desiana Setyaningsih (Dosen UNIKA Widya Mandira, Kupang), Abdul Rohman (Direktur Buku Langgar.co), Sri Winarni (Praktisi Pendidikan), dan Julia Sitompul selaku key opinion leader (KOL).
Ahmad menyatakan, saat ini manusia tidak lagi ‘hidup dengan media’ (live with the media), namun manusia sudah ‘hidup dalam media’ (live within the media). Ini terlihat dari pola interaksi manusia dalam media digital yang tidak lagi sebatas menjadi konsumen, namun sekaligus juga sebagai produsen.
Terkait media sebagai sumber informasi terpecaya, lanjut Ahmad, hasil survei IPS menunjukkan bahwa media televisi masih menjadi pilihan utama atau 76,6 persen, media internet/online 13,4 persen. Meski begitu tren penggunaan media internet sebagai sarana masyarakat mengakses informasi terus meningkat.
”Penggunaan media sosial untuk memperoleh informasi meningkat 10 persen (Maret 2020) menjadi 13,4 persen (Maret 2021). Sementara 32,3 persen mengaku setiap hari mengakses media sosial, dan 38,8 mengaku tidak pernah mengakses. Adapun jenis media sosial yang paling banyak diakses adalah Facebook (35,4 persen), WhatsApp (33,9 persen), Youtube (12,2 persen), Instagram (10,7 persen),” papar Ahmad.
Dalam paparannya, Ahmad juga menyinggung pentingnya memahami istilah ‘Disinformation order’ dan ‘Information Disorder’. Disinformation order merupakan kondisi dimana informasi palsu dan propaganda yang secara sengaja disebarkan dalam ruang publik melalui berbagai perangkat komunikasi, baik online maupun offline untuk mempengaruhi pikiran masyarakat.
Sedangkan Information Disorder, lajut Ahmad, merupakan sebuah kondisi dimana terjadi komunikasi deseptif yang ditujukan untuk menciptakan ketidak percayaan masyarakat pada institusi-institusi publik dan untuk mendegradasi legitimasi dari institusi-institusi tersebut.
”Meski agak berbeda, keduanya memiliki konsekuensi yang hampir sama, yaitu mendisrupsi tatanan institusional yang ada,” tegas Ahmad.
Sementara Dosen Unika Widya Mandira Fransiska Desiana Setyaningsih bicara mengenai hak dan tanggung jawab digital. Hak Digital menurutnya, adalah hak asasi manusia yang menjamin tiap warga negara untuk mengakses, menggunakan, membuat, dan menyebarluaskan media digital.
”Meski semua orang memiliki hak untuk mengakses, berekspresi dan merasa aman di dunia digital, namun hendaknya semua hak itu juga diikuti tanggung jawab,” tegas Fransiska. (*)
Post a Comment