Jadikan Jempolmu Influencer Demokrasi yang Positif
”Cek dulu… Cek dulu…,” syair lagu jingle Project Pop itu memang benar. Biasakan untuk selalu mengecek informasi yang kita dapat dengan informasi pembanding lain sebelum sharing dan posting. Ingat, pernah kejadian, beberapa tahun silam ada istri seorang Danramil yang men-sharing komentar atas tragedi penusukan Menkopolhukam (waktu itu) Wiranto. Sharing itu berkembang menjadi ujaran kebencian, yang kemudian berbuntut pengalihtugasan sang suami.
”Yang rugi mereka berdua. Bahkan, keduanya mengalami hukuman ganda sebagai sanksi dari atasannya. Memang, dalam beberapa survei terakhir Indonesia punya 10 kota terbaik, dianggap paling toleran, dan – dalam hal demokrasi – indeks demokrasi Indonesia masih di poin 70. Cukup tinggi. Tetapi perilaku netizen kita dinilai negatif (seperti kasus Ibu Danramil), sehingga penting bagi kita mengingatkan tanggung jawab bersama untuk menjaga citra positif toleransi dan demokrasi Indonesia,” tutur Fransiska Desiana Setyaningsih, pengajar Unika Widya Mandira - Kupang.
Caranya? Desiana mengusulkan, mari jadikan jempol-jempol kita untuk selalu menjadi influencer demokrasi yang positif buat nama baik Indonesia. Sebab, telah sering diwartakan, Indonesia tahun lalu pernah disurvei Microsoft dengan puluhan ribu responden. Hasilnya buruk. Indonesia menempati rangking 29 dari 31 sebagai negara dengan netizen yang paling tidak sopan. ”Ini memalukan. Bandingkan, di dunia nyata Indonesia menempati rangking 8 terbaik sebagai negara tujuan pariwisata paling ramah, tapi kok di dunia maya citranya jauh berbeda?” tanya Desiana.
Desiana, yang juga anggota Japelidi (Jaringan Pegiat Literasi Digital) itu mengungkapkan hal tersebut saat tampil dalam kegiatan Webinar Literasi Digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, 14 Juni lalu. Kegiatan virtual ini berlangsung semarak, diikuti oleh lebih dari 300 peserta, mayoritas pelajar SMP dan SMA yang dikawal guru mereka.
Dalam webinar bertajuk ”Media Sosial sebagai Sarana Meningkatkan Demokrasi dan Toleransi”, ini Fransiska Desiana menjadi narasumber bersama DR. Tobirin S.Sos, pengajar Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, brandpreneur Edy SR, Sholahudin Nur Azmy dari Pasar Desa Bantul, Knesya Sastrawijaya selaku key opinion leader, dan Mafin Rizky sebagai moderator.
Berbicara demokrasi, Tobirin menyebut Amerika Serikat sebagai negara paling senior dalam demokrasi. Namun, kini malahan bolak-balik tersulut kerusuhan berlatarbelakang ras. ”Gara-gara ada orang kulit hitam tertembak di ruang publik, segera saja memicu demo besar tak berkesudahan di Amerika Serikat. Tentu, hal itu dipicu oleh penyebaran info melalui media sosial yang kurang terkontrol. Sementara, kita lihat di Jerman yang dipimpin kanselir seorang perempuan, malahan menjadi teladan baru negara yang menegakkan kehidupan berdemokrasi dan toleransi yang patut menjadi contoh dunia,” ujar Tobirin.
Narasumber berikut, Edy SR menyampaikan hal lain. Kata dia, relasi offline saat ini mengalami penurunan drastis, utamanya setelah pandemi Covid-19. Dampaknya, orang Indonesia yang berinternet durasinya mencapai lebih dari 8 jam sehari dan separonya bermedia sosial. ”Artinya, kita kini dalam kondisi sudah sangat internet minded. Konkow di internet menjadi sarana bersama untuk merawat demokrasi dan toleransi. Ruang digital yang luas adalah sarana positif untuk berinteraksi secara cerdas dan dewasa,” ungkap Edy.
Tanggung jawab berinternet yang positif dan berkualitas tentu tak cuma dibebankan ke masyarakat, yang notabene sedang pusing terdampak pandemi Covid-19. ”Semua public figure, artis dan tokoh-tokoh publik lain mestinya bisa lebih banyak yang mengikuti Dedy Corbuzier: membuat konten yang bermanfaat dan mencerahkan. Dengan begitu, media sosial tidak cuma dibanjiri konten perceraian artis atau pamer kekayaan, yang jauh dari semangat menjaga toleransi,” ujar Sholahudin.
So? Kuncinya, semua tahu dan paham, untuk apa sebenarnya mereka menggunakan internet. ”Kalau semua menyadari hanya akan berbagi informasi yang bernilai positif dan menyemangati, stop hoaks dan tidak ikut menyebar konten negatif, maka kita semua bisa bareng-bareng merawat demokrasi dan toleransi di ruang digital,” timpal Knesya Sastrawijaya, di ujung webinar. (*)
Post a Comment