Inklusi Digital untuk Berdayakan Kelompok Rentan
SRAGEN – ”Kemajuan Digital dan Pemberdayaan Kelompok Rentan” menjadi tema bahasan menarik dalam webinar literasi digital yang dihelat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, 14 Juni lalu.
Disebut menarik, karena itulah salah satu tantangan yang muncul seiring dengan berlangsungnya transformasi digital. Yakni, adanya kelompok yang rentan terdampak oleh kemajuan digitalisasi.
Mengutip Arif Hidayat, anggota presidium Asosiasi UMKM Digital Enterpreuneur, yang dimaksud dengan kelompok rentan di jagat digital adalah kelompok yang bisa mendapatkan kesenjangan digital berbasis gender, usia, maupun preferensi (politik, hukum, sosial budaya, dll).
Kesenjangan digital itu sendiri merupakan kondisi di mana terdapat adanya kesenjangan pada masyarakat mengenai pengetahuan dan juga kemampuan dalam mengakses segala bentuk teknologi informasi dan komunikasi. Masuk di antara mereka: kaum perempuan, anak, jurnalis, aktivis lingkungan, aktivis antikorupsi, aktivis HAM, teman-teman LGBTQ hingga para penyandang disabilitas yang di Indonesia jumlahnya mencapai 22,1 juta.
Arif Hidayat menambahkan, kesenjangan digital itu sendiri didasarkan pada empat hal. Pertama, mental access, yakni minimnya pengalaman digital dasar; umumnya karena kurangnya atau bahkan tidak adanya ketertarikan terhadap teknologi baru. Selain itu, sangat umum mental access terjadi pada orang-orang yang telah berusia lanjut atau lebih tua.
Kedua, material access, yakni tidak memiliki komputer atau gawai dan koneksi internet. Ketiga, skill access: minimnya kemampuan di sektor digital yang umumnya diakibatkan oleh minimnya tingkat pendidikan ataupun dukungan sosial. ”Dan keempat, usage access: minimnya kesempatan penggunaan teknologi dan internet,” ujar Arif.
Untuk meretas kesenjangan digital itu, pemerintah telah melakukan serangkaian kegiatan yang disebut inklusi digital. Yakni, upaya mewujudkan masyarakat di seluruh Indonesia untuk mendapatkan akses dan haknya dalam menikmati jaringan dan layanan internet yang mudah dan bebas.
Yang dilakukan lewat inklusi digital di antaranya mempromosikan perbedaan, mempraktikkan rasa hormat, dan mendukung akses universal ke seluruh internet. ”Namun, dalam praktik, inklusi digital tersebut menghadapi sejumlah tantangan,” tambahnya.
Menurut Arif, inklusi digital menyasar pada kelompok rentan seperti perempuan yang memiliki usaha UMKM, korban kekerasan disabilitas, hingga generasi Z yang galau. ”Inklusi digital harus berjalan beriringan dengan pemulihan ekonomi, di mana keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi acuannya,” tutur Arif, yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (UNNES)
Terkait inklusi digital, ada tiga pilar pemberdayaan yang dilakukan. Yakni, membangun motivasi, meningkatkan kapasitas, dan memberikan kesempatan. Sedangkan wujud dukungannya bisa berupa charity, pembangunan infrastruktur digital, pengembangan kapasitas, dan advokasi (pendampingan dan akses).
Arif kemudian memberikan beberapa tips untuk menghindari ciber bullying, urgensi menanamkan kesadaran berinternet aman sejak dini, tanamkan etika saat berselancar di jagat maya hingga bagaimana melakukan pendampingan pada tahap tumbuh kembang anak dengan media digital.
Pada kesempatan berikut, jurnalis senior Burhan Abe menjelaskan, program literasi digital sejatinya bersifat universal, disiapkan untuk semua orang. Tidak spesifik membidik kelompok tertentu, termasuk kelompok rentan. Namun yang pasti, digitalisasi membuka kesempatan bagi banyak orang dari berbagai kalangan, termasuk perempuan dan kelompok rentan (contoh: penyandang disabilitas), untuk berkarya dan berkontribusi di dunia digital.
”Kesempatan terbuka bagi perempuan dan kelompok rentan untuk berkontribusi terhadap mereka. Tidak hanya sebagai pengguna, namun bisa menjadi pelaku.”
Kata Abe, pada saat ini terdapat tantangan digital bagi kelompok rentan. Pertama, pandemi Covid-19 telah terbukti berdampak terhadap kehidupan sosial ekonomi dan kelompok rentan. Seperti anak-anak dan remaja, perempuan dewasa, hingga penyandang disabilitas.
”Hal itu menjadi tantangan yang perlu dijawab. Salah satunya lewat pengembangan gagasan atau konsep solusi digitalisasi buat kelompok rentan. Masalah ini menjadi urgen, utamanya karena belum banyak perkembangan teknologi digital yang spesifik ditujukan untuk kelompok rentan,” cetus Abe. (*)
Post a Comment