Dua Kunci Sukses Bertahan Hidup di Era Globalisasi Teknologi
WARTAJOGJA.ID : Dosen senior Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Yogyakarta Muhammad Najib Azca menyebut ada dua kunci utama untuk bertahan dan sukses di era globalisasi yang ditunjang pesatnya teknologi saat ini.
“Dua kunci survive dalam dunia digital adalah kolaborasi dan inovasi,” ujar Najib Azca saat berbicara dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital Kementerian Kominfo untuk wilayah Kabupaten Blora - Jawa Tengah, Senin (31/5).
Direktur di Youth Studies Center Fisipol UGM (YOUSURE) itu mengatakan sudah banyak kasus di dunia ambruknya perusahaan-perusahaan raksasa hingga usaha lokal gara-gara terlambat atau tidak bisa melakukan kolaborasi dan inovasi.
Contoh paling dekat, bagaimana berbagai usaha jasa transportasi juga taksi lokal yang gulung tikar pasca hadirnya ojek online. Lalu di level dunia, raksasa produsen penghasil kertas film Kodak akhirnya tenggelam padahal era 90-an silam hampir semua orang menggunakannya saat mencetak foto.
“Berbeda dengan perusahaan Fuji yang bisa lebih cepat adaptasi dan melakukan transformasi besar sehingga tak menjual kertas film lagi namun merambah berjualan kamera digital,” kata Najib.
Namun, Najib melanjutkan, ada satu hal yang perlu dicermati mengapa adaptasi di era digital ini penting. Ia merunut lagi lahirnya era digital yang satu dasawarsa terakhir ditandai dengan masifnya globalisasi atau era di mana mulainya hegemoni -- yang kerap dikaitkan menghasilkan berbagai turut produk secara massal dan seragam.
“Globalisasi membuat antar-manusia dalam geraknya saling terkoneksi, saling kenal, saling berkomunikasi dan menyambungkan diri, sehingga memiliki kesamaan satu dengan yang lain. Istilahnya, muncul universalisasi,” kata dia.
Saat globalisasi ini makin menguat, muncul kecenderungan sikap lokalisasi atau politik identitas untuk melawan homogenisasi atau McDonalisasi. Sehingga kemudian keluar gerakan Glokalisasi.
McDonalisasi menjadi ibarat cara bisnis ala restoran McDonald yang kini brand-nya menyebar ke seluruh dunia, mulai dari Amerika hingga Afrika, namun menyajikan menu andalan berbeda di tiap daerah. Misalnya McDonald Amerika mengandalkan jualannya burger, di Indonesia mengandalkan nasi ayam.
“Glokalisasi membuat orang berpolitik, bersikap, atas dasar suku, agama, dan identitas kulturalnya,” kata dia.
Sikap lokalitas untuk perlawanan budaya global ini pun kerap muncul pula di media sosial. “Sifat media sosial mendekatkan yang kita suka dan menjauhkan yang tidak kita sukai, sehingga makin mempersempit pandangan kita,” kata dia.
Dari media sosial yang riuh dalam penegasan identitas kelokalan itu, muncul tantangan bagaimana menjaga kebhinekaan Indonesia agar menjadi kekuatan, bukannya menjadi persoalan.
“Dari media sosial, kita seolah diajak semakin tidak mau mengenal orang yang berbeda karena kita hanya ingin mendapatkan informasi sesuai kesenangan kita. Padahal seharusnya kita perlu memperluas pandangan untuk memiliki pandangan obyektif,” kata Najib.
Najib berpesan, jangan sampai media sosial membuat orang seperti hidup terkungkung, tak mengenal nilai-nilai lain yang muncul di sekelilingnya.
“Karena jika diteruskan, akan muncul polarisasi seperti salah satu korbannya ada istilah cebong dan kampret saat pilpres lalu,” kata dia.
Najib Azca mengajak semua pihak menyadari pandangan setiap orang bisa berbeda. “Jangan gampang menjadi korban digital, harus pintar literasi lalu melakukan kolaborasi dan inovasi,” katanya. (Rls)
Post a Comment