Di Era Medsos, Siapa Pun Bisa Jadi Komunikator, Komentator hingga Provokator
TEMANGGUNG – Teknologi memungkinkan informasi dan pengetahuan terbuka lebar, sehingga pemahaman kebhinekaan dan hak-hak minoritas makin meluas. Pemanfaatan teknologi digital untuk politik kebangsaan, memunculkan gerakan solidaritas bagi kelompok minoritas (politics of difference), dan kritik pada intoleransi.
Staf Ahli Menkominfo Henry Subiakto mendedahkan pendapatnya pada webinar literasi digital bertema ”Media Sosial sebagai Sarana Meningkatkan Demokrasi dan Toleransi” besutan Kementerian Kominfo bagi masyarakat Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Senin, 14 Juni lalu.
Lebih jauh Henry menyatakan, demokratisasi menuntut adanya kesetaraan, emansipasi dan toleransi dari berbagai kelompok minoritas.
Fenomena komunikasi partisipatif di era digital (media sosial), siapa pun bisa jadi komunikator, pemroduksi pesan, wartawan, pengamat, komentator, hingga provokator.
Dengan karakter memberi informasi tercepat, media sosial (medsos) memfasilitasi hasrat manusia untuk diperhatikan dan memperhatikan, hingga menciptakan adiksi sosial.
Medsos, lanjut Henry, membentuk kebenaran semu (false truth) lewat kegaduhan dan akun-akun buzzer. Medsos juga menjadi sumber disinformasi, merongrong demokrasi (paradoks demokrasi), membangkitkan karakter bawah sadar yang sebelumnya tersembunyi.
”Fakta di medsos, seringkali kebenaran dikalahkan dengan keyakinan (post truth). Medsos juga menciptakan perhatian sebagai barang komoditas (The economy of attention) sekaligus era hilangnya ruang privat. Semuanya serba telanjang dan diawasi oleh para raksasa teknologi TIK (Google, Microsoft, Aple, facebook, Amazone),” papar guru besar Universitas Airlangga, Surabaya itu.
Henry mengingatkan pengguna medsos lebih waspada lantaran internet dijadikan ajang ”perang komunikasi politik”. Medsos telah digunakan sebagai senjata disinformasi untuk mempengaruhi proses politik.
”Banyak negara hancur, atau terjadi kerusuhan saat rakyatnya terprovokasi oleh konten-konten internet dan media sosial. Apa kita akan membiarkan keadaan itu terjadi di negeri ini?,” tanya Henry.
Menurut Henry, hoaks, disinformasi, hate speech, dan radikalisme menjadi ramuan ampuh pembelahan masyarakat, memunculkan kegaduhan, merusak demokrasi, menciptakan ketegangan, konflik, hingga kekacauan dan peperangan. ”Hal itu dapat menghancurkan negara,” tegasnya.
Menyampaikan gagasan berjudul ’Menjadi Ujung Tombak Demokrasi dan Toleransi di Era Digital’, narasumber dari LPPM UNU Yogyakarta Muhammad Mustafied, mengajak peserta webinar membedah makna demokrasi dan toleransi.
Menurut Mustafied, toleransi dalam arti positif adalah respek terhadap orang yang memiliki iman, pemikiran, atau keturunan yang berbeda. Toleransi dalam arti ini bertentangan dengan intoleransi religius, politis, ataupun rasistis.
”Aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas dalam bentuk pembakaran tempat ibadah, pembubaran ibadah, ataupun penganiayaan adalah intoleransi dalam arti negatif yang bertentangan dengan toleransi dalam arti positif,” ujar Mustafied.
Namun, lanjut Mustafied, toleransi tidak selalu positif. Toleransi dalam arti negatif adalah pembiaran ataupun ketidakpedulian terhadap kejahatan, ketidakadilan, dan penindasan terhadap mereka yang berbeda. Pelakunya bisa negara ataupun masyarakat sendiri.
Melalui teknologi digital, kata Mustafied, publik berkesempatan lebih luas untuk ikut terlibat dalam menentukan agenda isu publik. Berbagai hambatan teknis, geografis, informasi dapat dipecahkan melalui teknologi digital, yang memungkinkan keterlibatan publik dalam politik lebih luas cakupannya.
”Semua warga negara dimungkinkan terlibat dalam proses politik melalui teknologi digital, sehingga memungkinkan masyarakat menerima informasi melimpah, lengkap, sekaligus memungkinkan pemerintah lebih transparan, akuntabel, memperluas partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan, menyerap aspirasi publik, dan lebih responsif,” papar Mustafied.
Namun demikian, tambah Mustafied, teknologi digital dapat menjadi tirani baru dan menjadi musuh demokrasi ketika terjadi ketidaksetaraan dalam akses data, monopoli data, kesenjangan infrastruktur digital, dan menguatnya hoaks yang memanipulasi kesadaran publik.
Acara virtual yang dipandu oleh moderator Bella Ashari ini, juga menghadirkan narasumber: Hayuning Sumbadra (Kaizen Room), Isyrokh Fuadi (dosen Institut Pesantren Mathali’ul Falah), dan Sisca Septiyani sebagai key opinion leader. (*)
Post a Comment