Awas Kejahatan Transnasional di Dunia Maya
Grobogan – Ilmu dan teknologi adalah anak kandung kebudayaan, yang pada gilirannya ikut membentuk realitas budaya dan bersama-sama dengan berbagai aspek kebudayaannya menghasilkan dunia maya. Itu adalah teknologi dan menjadi kebudayaan kita sekarang. Lalu, kita mau mengatakan sains dan teknologi bukan ada di bawah kebudayaan?
Kutipan pendapat Karlina Supelli, filsuf dan ahli astronomi perempuan pertama Indonesia itu dikemukakan oleh fasilitator literasi Joko Priyono saat berbicara pada acara webinar literasi digital yang dihelat Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Senin, 14 Juni lalu.
Dalam webinar bertema ”Kejahatan Transnasional di Dunia Maya”, Joko berbicara dari perspektif budaya (digital culture) terkait transformasi digital yang sedang mengalami proses adaptasi dengan budaya kita.
Selain tinjauan budaya, acara virtual yang dipandu oleh moderator Nadia Intan ini, juga berusaha membahas tema yang dibicarakan dari sudut pandang etika (digital ethics), kecakapan (digital skill), dan keselamatan (digital safety).
Beberapa narasumber yang hadir bicara pada webinar ini; Taty Aprilyana (Kaizen Room), Yanti Dwi Astuti (UIN SUKA Yogyakarta), Sigit Rahmanto (Jurnalis Radar Jateng), dan konten kreator Ade Wahyu sebagai key opinion leader.
Tampil dengan paparan berjudul ’Transformasi Digital dan Peran Kebudayaan’, Joko bicara tentang transformasi digital menuju era industri 4.0 yang menyasar empat bidang; yakni internet, pendidikan, pekerjaan, dan pola budaya.
Internet, kata Joko, memberikan pengaruh pada banyak lini kehidupan. Masyarakat mudah mendapatkan akses informasi terbaru dengan cepat dan efisien. Sementara transformasi di bidang pendidikan, memunculkan sarana dan fasilitas yang tersedia baik melalui fitur maupun platform yang memberikan akses kemudahan dalam ranah pendidikan.
Di sektor pekerjaan, lanjut Joko, transformasi menghadirkan peluang dan kebutuhan bekerja bagi angkatan kerja di masyarakat. Dunia digital juga berfungsi sebagai ruang produktivitas dalam menyalurkan ide.
”Transformasi pola budaya, menuntut adanya sebuah perubahan budaya yang muncul dalam hiruk-pikuk kehadiran dunia digital. Paradigma tersebut perlu dipahami sebagai kerangka untuk terus melakukan kebaikan,” papar Joko.
Menurut Joko, transformasi digital juga memunculkan tantangan berupa; kesenjangan sosial, etika dalam dunia digital, dan perebutan kepentingan. Kesenjangan sosial memunculkan ketimpangan dalam kehidupan sosial masyarakat atas kekeliruan pemahaman hakikat dunia digital.
Masalah berikutnya, kata Joko, ialah etika dalam dunia digital. Berbagai masalah hadir dalam interaksi di dunia digital. Salah satunya menyangkut persoalan etika: yakni perubahan etika tradisional ke etika kontemporer.
”Ruang media melahirkan tantangan serius saat keberadaannya menjadi lahan berbagi pengaruh kepentingan. Di satu sisi kepentingan positif mesti dilakukan. Di sisi lain kepentingan yang mengarah ke negatif juga bermunculan,” jelas Joko.
Digital culture bagi Joko dipahami sebagai perubahan media dan budaya untuk memproduksi konten budaya sehari-hari, maupun untuk mendistribusikan cerita tentang seni dan budaya.
Narasumber lain, Sigit Rahmanto menyorot soal pentingnya literasi digital sebagai perisai penangkal kejahatan transnasional. Literasi digital baginya tidak sekadar memiliki kecakapan penguasaan teknologi, namun literasi digital juga memberikan kecakapan pengguna media digital dalam melakukan proses mediasi media digital yang dilakukan secara produktif.
Kejahatan transnasional di dunia maya, menurut Sigit, setidaknya dibedakan menjadi tiga kluster. Pertama, perdagangan kriminal seperti: narkoba, manusia, senjata, dan illegal fishing. Kedua, kejahatan teknologi seperti: privasi, pencurian data dan identitas. Ketiga, kejahatan keuangan seperti: money laundry, penyelundupan uang tunai secara massal (bulk-cash smuggling). (*)
Post a Comment