Peringatan Hari Anti Tembakau: Banyak Regulasi Dianggap Diskriminatif Bagi Industri Kretek
Seminar nasional 'Konspirasi Global Penghancuran Kretek Indonesia' di Kampus UIN Yogyakarta dalam peringatan Hari Anti Tembakau Dunia 31 Mei 2021. |
WARTAJOGJA.ID: Himpunan Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Sya’riah dan Hukum UIN Yogyakarta dan portal media online nasional Akurat.co menggelar seminas nasional bertajuk 'Konspirasi Global Penghancuran Kretek Indonesia' di Kampus UIN Yogyakarta dalam peringatan Hari Anti Tembakau Dunia 31 Mei 2021.
Hadir selaku narasumber, KH. M Jadul Maula (Budayawan, Pengasuh Pondok Pesantren Kaliopak); Hairus Salim (Budayawan, Direktur LKIS Yogyakarta); Gugun El Guyanie (Pengajar Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta); dan Imanina Eka Dalilah (Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Universitas Brawijaya Malang).
Pengajar Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Gugun El Guyanie dalam kesempatan itu mengungkap ada sejumlah regulasi di tanah air yang sangat diskrimanif terhadap sektor industri kretek, bahkan menghambat perkembangan sektor hulu sampai hilirnya.
“Masih ada banyak aturan baik level produk legislasi parlemen (formell gezets) sampai peraturan pelaksana (verordnung), juga peraturan otonom di tingkat daerah (autonome satzung) saling berbenturan dalam mengatur industri kretek ini,” kata Gugun.
Dalam acara yang digelar Himpunan Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Sya’riah dan Hukum UIN Yogyakarta dan portal media online nasional Akurat.co menyambut Hari Anti Tembakau Dunia 31 Mei 2021 itu, Gugun membeberkan sejumlah fakta.
“Ada satu kelemahan yang juga mendasar, yakni belum ada UU sektoral yang memayungi persoalan industri kretek ini,” kata dia.
Sektor industri kretek masih diatur dalam banyak regulasi seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, memuat tentang rokok sebagai zak adiktif atau dari sisi kesehatan. Juga Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, mengatur cukai rokok.
Lalu ada pula Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, juga menjadi payung hukum yang mengatur sisi budidaya tanaman tembakau.
“Industri kretek yang sifatnya unik dan strategis dalam bingkai ekonomi kerakyatan, harus memiliki undang-undang tersendiri yang bersifat lex specialis,” kata dia.
Tanpa pengaturan secara lex specialis, kebijakan negara untuk memajukan industri kretek yang memiliki nilai historis dan masa depan ekonomi strategis, akan mengalami ketidapastian karena harus tunduk pada aturan yang tidak harmonis.
Untuk menyebut beberapa peraturan pelaksana diantaranya; Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. PP tersebut merupakan amanat dari UU Kesehatan.
Yang justru tidak tepat adalah muncul regulasi di tingkat Kementerian Keuangan—Peraturan Menteri Keuangan (PMK), yang mengatur dana bagi hasil cukai tembakau (DBH CHT).
“Tidak tepat karena UU Cukai yang mengatur DBH CHT (Pasal 66), tidak diatur melalui Peraturan Pemerintah yang melibatkan banyak lembaga atau kementerian,” kata dia.
Adapun narasumber lain yang merupakan Budayawan, Direktur LKIS Yogyakarta Hairus Salim mengatakan rezim budaya saat ini telah menempatkan rokok seolah sebagai budaya paling berbahaya.
“Padahal rokok bukan deerminan tunggal yang mempengaruhi kematian, bahkan di beberapa referensi menyebut tembakau bisa menjadi bahan pengobatan,” ujarnya.
Sedangkan Imanina Eka Dalilah, Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Universitas Brawijaya Malang dalam paparannya dalam kesempatan itu menyoroti bagaimana kontribusi Industri Hasil Tembakau atau IHT dalam perekonomian nasional.
“IHT merupakan satu-satunya industri nasional yang saat ini terintegrasi dari hulu sampai hilir,” kata Imania.
Imania mengungkap kondisi itu terjadi karena hanya sektor IHT yang saat ini memiliki peran signifikan dari penyediaan input produksi, pengolahan, hingga proses distribusinya.
“IHT memberikan kontribusi yang signifikan bagi penerimaan nasional ,” kata dia.
Kontribusi IHT dalam penyerapan tenaga kerja juga cukup signifikan. Imania mengungkap IHT mampu menyerap tenaga kerja sekitar lebih dari 6 juta orang.
“Dari total penyerapan tenaga kerja tersebut, sebanyak 2,9 juta merupakan pedagang eceran, 150 ribu merupakan buruh pabrikan rokok, 60 ribu karyawan pabrik, 1,6 juta petani cengkeh dan 2,3 juta petani tembakau,” kata dia.
Beberapa wilayah di Indonesia memiliki ketergantungan yang cukup besar pada sektor tembakau baik dari sisi serapan tenaga kerja dengan latar pendidikan rendah, maupun serapan tenaga kerja yang didominasi oleh tenaga kerja perempuan.
“Mayoritas buruh pabrik rokok adalah perempuan sebesar 66%. Persentase tersebut merupakan proporsi tertinggi di sektor industri manufaktur,” katanya.
Dalam kesempatan itu turut hadir pula sebagai narasumber, KH. M Jadul Maula, yang merupakan budayawan sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Kaliopak. (Arifin)
Post a Comment