May Day, MPBI DIY Soroti Bahaya SE Manaker Soal THR
WARTAJOGJA.ID : Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY menyatakan pemberian THR bagi buruh telah diatur dalam Permenaker nomor 6 Tahun 2016 yang dalam salah satu pasalnya berbunyi pengusaha wajib memberikan THR kepada karyawannya dengan masa kerja minimal satu bulan.
"Tapi kemudian Menaker mengeluarkan SE yang sangat berbahaya," kata Juru Bicara MPBI DIY Irsad Ade Irawan saat mendatangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY, Jumat (30/4/2021).
Bahaya yang dimaksud karena pertama THR boleh dibayarkan lebih dari 7 hari.
"Intinya SE terbaru itu fleksibel bisa H-2, bisa H-1. Karena bunyinya paling lambat sebelum Idulfitri," kata
Irsad menilai pemerintah DIY masih ada beberapa pekerjaan rumah yakni terkait target pencicilan THR tahun lalu yang dinilai masih ada perusahaan yang belum melunasi.
"Tahun lalu saja ada yang belum lunas, apalagi ditambah sekarang ini. Ini menjadi PR pemerintah," tegasnya.
Sebagasi solusi, Irsad menyampaikan bagi perusahaan yang terdampak pandemi Covid-19 dan tidak sanggup membayar THR untuk tahun ini, dirinya membolehkan pembayaran THR dapat dicicil namun seluruhnya harus selesai pada H-7 lebaran.
"Solusi kami perusahaan yang terdampak pandemi Covid-19 lakukan pembayaran THR secara dicicil tapi itu harus selesai H-7 lebaran," kata Irsad
Majelis Pekerja Buruh Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta dalam audiensi itu menemui Pimpinan Komisi D DPRD DIY serta dari Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY untuk menyampaikan beberapa pokok pikiran.
Pokok pikiran yang disampaikan para buruh tersebut antara lain tentang Tunjangan Hari Raya (THR) Pekerja DIY 2021, Pengupahan DIY, Koperasi Pekerja DIY, Vaksinasi bagi Pekerja DIY, Tenaga, Kerja Mandiri (TKM) DIY, dan Dampak Omnibus Law CILAKA.
MPBI juga menyebut mulai diberlakukannya UU Cipta Kerja Omnibus Law merupakan momok bagi para buruh pada momentum peringatan hari buruh tahun ini. Pemerintah yang bekerja cepat dengan mengeluarkan aturan turunan dari UU Ciptaker menjadikan posisi tawar buruh kian sulit di masa pandemi. Ibarat jatuh, buruh semakin tertimpa tangga dengan adanya aturan itu.
"Pemerintah semakin nampak sangat memihak kepada pemodal atau investor, hal ini dapat terlihat jelas dengan disahkannya UU Cipta Kerja dan dengan cepat mengeluarkan PP turunannya. Yang semuanya itu merugikan buruh," kata Irsad.
Dia mengatakan, peringatan hari buruh atau May Day tahun ini merupakan yang paling kelam bagi buruh se-Indonesia. Sebab, selain masih menanggung dampak akibat pandemi Covid-19, buruh juga dikejutkan dengan UU Ciptaker yang diklaim tidak pro dengan kepentingan pekerja.
"Namun demikian, gerakan buruh akan tetap secara terus menerus melakukan perlawanan terhadap kebijakan negara yang merugikan buruh," ungkapnya.
Irsad berpendapat bahwa perlu diadakan studi dan kajian dampak implementasi UU Ciptaker bagi kerja layak dan kesejahteraan pekerja yang sekurang-kurangnya meliputi, bagaimana dampak implementasi UU Ciptaker terhadap upah minimum, kontrak kerja, waktu kerja dan lembur, waktu libur, upah cuti haid dan lain sebagainya. Kemudian sejauh mana UU Ciptaker menciptakan kerja layak serta sejauh mana OBL membawa keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat terutama pekerja atau buruh.
Di sisi lain, Irsad mengungkapkan bahwa perlahan-lahan kondisi pekerja di DIY sudah sedikit membaik dibandingkan dengan awal-awal pandemi melanda. Meski tidak mengantongi data konkret dia memastikan bahwa sejumlah buruh yang terdampak Covid-19 sudah mulai bekerja kembali karena perekonomian yang mulai bergeliat.
Hanya saja, pada momentum hari buruh kali ini pihaknya mengingatkan bahwa pekerja masih dihadapkan dengan lingkaran setan yang masih menjerat mereka yakni berupa upah murah, sistem kontrak dan outsourcing, kerja overtime dan sistem kerja yang tidak diatur oleh UU secara eksplisit.
"Yang semua itu menambah kerentanan buruh di tengah pandemi," katanya.
Lebih lanjut, pihaknya masih menyoroti ironi upah murah yang ada di DIY. Upah Minimum Provinsi (UMP) yang senilai Rp1,7 juta dianggapnya bertentangan dengan produktifitas buruh yang cukup tinggi. Masalah ini juga menjadi salah satu penyebab persoalan kemiskinan sulit dikendalikan di wilayah setempat.
"Secara umum produktifitas buruh menurut data kami itu mencapai Rp24,3 juta di 2019 lalu. Dengan UMP yang rendah di tiap Kabupaten/Kota, buruh selalu defisit jika kami bandingkan dengan upah layak sesuai survei kami yakni senilai Rp1 juta an," jelasnya.
Pihaknya pun mendesak agar Pemda DIY mencabut SK Gubenur Tentang UMP DIY dan UMK Kabupaten/Kota 2021 kemudian merevisi UMP dan UMK DIY sesuai dengan KHL. (Rls)
Post a Comment