Wakil Ketua DPRD DIY: Pengentasan Kemiskinan Butuh Gebrakan Extra Ordinary
WARTAJOGJA.ID : Meningkatnya angka kemiskinan DIY saat pandemi ini mesti disikapi dengan serius dan menggulirkan program yang inovatif bahkan ekstra ordinary.
Wakil Ketua DPRD DIY Huda Tri Yudiana menyatakan kemiskinan di DIY sebelum pandemi sebenarnya sudah tinggi diatas rata rata nasional, dan RPJMD terkait pengentasan kemiskinan termasuk yang belum tercapai secara tahunan.
Target RPJMD tahun 2022 semestinya sebesar 7 persen dan pencapaian tahun ini sebesar sekitar 8 persen.
Dengan adanya pandemi angka angka tersebut kembali ke posisi semula awal tahun 2017, bahkan lebih buruk, yaitu sebesar 12.8 persen.
Ditambah lagi angka Gini Rasio di DIY tertinggi di Indonesia, yaitu sebesar 0,437 yang tidak membaik dibandingkan tahun sebelumnya.
"Dua masalah ini menjadi problem DIY sejak sebelum pandemi, dan semakin parah dengan adanya pandemi covid19. Sangat beruntung DIY memiliki budaya luhur dan kegotongroyongan yang tinggi sehingga penderitaan masyarakat teratasi dengan nilai nilai internal tersebut," kata Huda Rabu (17/2).
Tapi bagaimanapun juga, kata Huda yang juga anggota F-PKS itu, pengentasan kemiskinan menjadi prioritas yang semakin urgen saat ini.
Selain angka kemiskinan yang naik, kedalaman kemiskinan juga semakin parah, artinya yang sebelumnya miskin bertambah miskin dengan pandemi ini.
Kondisi ini menuntut cara kerja yang tidak biasa dari pemerintah daerah, jangan hanya melakukan langkah-langkah tahunan yang belum terbukti efektif, karena kondisinya juga jauh berbeda.
Berbagai program pengentasan kemiskinan saat ini masih dilakukan dengan cara klasik dengan program program topdown dari atas.
Program - program itu identik dengan berbagai bantuan dengan mendasarkan pada DTKS.
Masalahnya adalah data yang ada dari DTKS kurang bisa memotret kondisi riil masyarakat, selain itu masyarakat dan pemerintah paling bawah seperti pemerintah kalurahan dan padukuhan sekedar menjadi obyek pelaksana.
Program pengentasan kemiskinan cenderung topdown, birokratis dan kreativitas lokal sulit diakomodasi. Paradigma menerima bantuan juga kurang mendidik dan cenderung menimbulkan konflik sosial jika tidak tepat sasaran.
Semestinya dalam keterbatasan anggaran ini dibuat mekanisme agar program bisa optimal dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat termasuk pemerintahan paling bawah yaitu kalurahan dan padukuhan.
Kalau semua topdown oleh pemda akan sulit menjadi ungkitan dan sulit melibatkan potensi lokal. Sebagai contoh ada suatu dusun dilewati sungai, mereka akan melakukan program pengentasan kemisinan dengan membuat kolam karamba di sungai tersebut, program ini sangat sulit dilakukan dengan paradigma sekarang ini karena akan melibatkan berbagai instansi dan menu program tidak tersedia.
"Akhir tahun kemarin kami berkeliling DIY beetemu dengan 1.000 lebih perangkat kalurahan dan kepala dusun, untuk evaluasi dan meminta masukan terkait program pengentasan kemiskinan. Pertanyaan sederhana kami ajukan adalah, apakah jika padukuhan atau desa mendapatkan dana pengentasan kemiskinan dalam jumlah tertentu dengan program yang fleksibel sesuai musyawarah warga mereka sanggup ditarget mengentaskan dua sampai empat keluarga per dusun?" kata Huda.
Ternyata, hampir semua menyatakan sanggup dan bertanggungjawab. Dalam hal ini semestinya siapa saja yang akan ditarget dientaskan kemisinannya by name by adress ditentukan sendiri oleh musyawarah dusun, programnya juga dibuat sendiri, APBD sebagai stimulan dan bisa melibatkan potensi lokal warga setempat.
Cara partisipatif ini perlu dicoba dan dilakukan sebagai terobosan, melengkapi berbagai program yang ada saat ini.
Jika mereka mentarget sendiri siapa yang mau dientaskan, membuat program sendiri, dan melibatkan potensi lokal, semestinya dalam pengisian data kemiskinantahun berikutnya warga yang ditarget bisa dihapus dari DTKS.
Jadi kalau saat ini mereka musyawarah untuk menentukan siapa yang akan mendapat bantuan, outpunta adalah data penerima bantuan.
Kalau perintahnya ditambah, musyawarah untuk menentukian siapa yang akan dientaskan dari kemiskinan dan apa programnya dan pemerintah fasilitasi stimulan, outputnya adalah warga yang tidak lagi miskin karena traetment bersama
Pelibatan potensi lokal juga akan menghemat sangat besar anggaran pemerintah daerah, karena dalam hal ini gotong royong warga akan mensupport anggaran tersebut.
"Intinya adalah kita perlu terobosan pengentasan kemiskinan dengan melibatkan potensi lokal secara partisipatif. Bukan sekedar program topdown saja. Biarlah program yang ada saat ini berjalan, tapi terobosan lain harus dilakukan untuk bisa menurunkan angka kemiskinan secara signifikan," kata dia.
Misalnya per padukuhan dalam satu tahun turun kemiskinan tiga keluarga saja, maka se-DIY dalam satu tahun bisa turun kemiskinan lebih dari 20.000 KK atau 100.000 warga lebih. (Cak/Rls)
Post a Comment