Rawan Gempa, BSN Tetapkan SNI Bangunan Tahan Gempa
WARTAJOGJA.ID : Indonesia tercatat sebagai negara yang paling banyak mengalami kejadian gempa bumi. Seperti yang terjadi di awal tahun 2021, bencana gempa melanda wilayah Sulawesi Barat, tepatnya di Majene.
Banyak korban meninggal akibat gempa. Tidak hanya korban jiwa saja yang berjatuhan tentunya, kerugian material lainnya seperti kerusakan dan runtuhnya bangunan/gedung menjadi persoalan yang cukup besar. Dengan tingkat kerawanan gempa tersebut, tentunya menjadi penting sebuah perencanaan konstruksi bangunan tahan gempa.
Terkait hal tersebut, Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah menetapkan beberapa Standar Nasional Indonesia (SNI) terkait antisipasi bahaya gempa, salah satunya SNI 1726:2019 Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan nongedung. Pembangunan rumah, gedung, atau jenis bangunan lainnya yang berada di daerah rawan gempa, penting untuk memperhatikan persyaratan mutu dalam SNI, termasuk SNI 1726:2019. Apa saja persyaratan mutu SNI ini?
Deputi Bidang Pengembangan Standar BSN, Nasrudin Irawan di Jakarta pada Jumat (12/2/2021) menerangkan, BSN menetapkan SNI ini, sebagai hasil revisi dari SNI 1726:2012 Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan nongedung. Saat ini SNI 03-1726-2002 yang terakhir direvisi menjadi SNI 1726:2019 telah diadopsi menjadi regulasi SNI yang berlaku wajib oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Peraturan Menteri PU No. 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung, dan juga telah menjadi acuan dalam Pedoman Pelaksanaan Kaidah Teknik Pertambangan yang baik, sesuai dengan Keputusan Menteri ESDM No.1827.K/30/MEM/2018.
Dalam SNI ini, terang Nasrudin, memuat persyaratan minimum yang harus dipenuhi baik menyangkut beban, tingkat bahaya, kriteria yang terkait, serta sasaran kinerja yang diperkirakan untuk bangunan gedung, struktur lain, dan komponen nonstrukturalnya yang memenuhi persyaratan peraturan bangunan.
“Saya mengambil satu contoh dalam SNI yang mempersyaratkan kita harus menghitung beban dari struktur bangunan yang dikombinasikan dengan kekuatan desain bangunan dengan kekuatan goncangan seperti gempa, sehingga diharapkan bangunan bisa beradaptasi atau menahan kekuatan goncangan tersebut,” terang Nasrudin.
Penting juga untuk diketahui, beberapa produk bangunan seperti baja, dan semen diwajibkan juga memenuhi SNI, apabila baja dan semen yang digunakan tidak ber SNI, maka tidak bisa dipastikan beton yang dihasilkan sesuai dengan kekuatan yang telah diperhitungkan. Dengan bahan material berSNI dan proses pembangunannya memenuhi persyaratan SNI 1726:2019, unjuk kerja bangunan akan melampaui kekuatan yang dibutuhkan, sehingga mengurangi resiko keruntuhan akibat goncangan.
Nasrudin melanjutkan, untuk menghitung beban seperti dalam SNI 1726:2019 dilakukan berbasis risiko atau berdasarkan kategori risiko struktur bangunan gedung dan nongedung terhadap pengaruh gempa yang terbagi dalam 4 kategori risiko.
“Sebagai contoh untuk kategori risiko I yang dimaksud adalah gedung dan nongedung yang memiliki risiko rendah terhadap jiwa manusia pada saat terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk, antara lain: fasilitas pertanian, perkebunan, perternakan, dan perikanan; fasilitas sementara; gudang penyimpanan; serta rumah jaga dan struktur kecil lainnya,”ujar Nasrudin.
Namun untuk kategori risiko IV, lanjutnya, adalah gedung dan nongedung yang dikategorikan sebagai fasilitas yang penting, misalnya gedung sekolah dan fasilitas Pendidikan; rumah ibadah; rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki fasilitas bedah dan unit gawat darurat; fasilitas pemadam kebakaran, ambulans, kantor polisi, dan lain-lain.
“Jadi menghitung risikonya berbeda-beda tergantung daerah mana yang rawan gempa dan jenis bangunan apa yang terdapat di situ, sehingga mutu dan persyaratan konstruksi bangunannya lebih tepat,” ungkapnya.
Bagaimana dengan desain bangunan sesuai SNI ini? Nasrudin menjelaskan, struktur bangunan gedung dan nongedung harus didesain menggunakan kombinasi pembebanan berdasarkan ketentuan yang ada. Jadi beban yang dimasukkan untuk menghitung kekuatan struktur telah mencakup beban mati (beban yang permanen seperti beban gedung), beban hidup (beban yang dinamis seperti furniture dan orang), beban angin dan beban gempa.
Gedung yang sudah jadi juga tidak boleh dikembangkan sehingga menambah beban, contoh ruko 3 lantai yang atapnya berupa plat beton dikembangkan menjadi ruangan atau gudang dengan menambah atap, hal ini dapat berisiko menyebabkan runtuhnya bangunan.
“Sistem fondasi, baik untuk bangunan gedung dan nongedung, tidak boleh gagal terlebih dahulu daripada struktur yang ditumpunya, sehingga kombinasi pembebanan yang mempertimbangkan faktor kuat harus diaplikasikan dalam desain sistem fondasi,” jelasnya. Secara sederhana, kita harus memastikan pondasi bangunan harus lebih kuat dari bangunan yang akan menumpunya.
Jangan sampai konstruksi gedungnya mampu menahan gempa tapi runtuh akibat gagal fondasinya. Pondasi bangunan juga harus menumpu pada tanah yang kuat, jangan sampai pondasi kuat tetapi tanahnya lunak sehingga amblas tidak mampu menahan beban pondasi. Hal ini akan menentukan jenis pondasi yang sesuai dengan kondisi tanah dibawahnya, apabila tanahnya keras bisa menggunakan pondasi telapak, namun apabila tanah liat menggunakan tiang pancang, dan sebagainya.
Pondasi bangunan juga harus memperhatikan area di sekitarnya, kemungkinan terjadi retakan secara vertikal yang merusak bangunan. Pastikan bangunan tidak berada pada daerah sesar dan rawan longsor. Tegasnya, struktur, komponen-elemen struktur dan elemen-elemen fondasi harus didesain melebihi beban-beban terfaktor dengan kombinasi-kombinasi dan telah memperhitungkan faktor keamanan.
Untuk perhitungan beban gempa disesuaikan dengan umur rencana gedung, pada umumnya 50 tahun maka digunakan beban gempa rencana 50 tahunan. Perhitungan beban juga tidak boleh terlalu berlebihan karena merupakan pemborosan dan gedung jadi mahal. Sebagai contoh, apabila dalam satu kawasan semua gedung runtuh, hanya ada 1 yang berdiri, ada kemungkinan perencanaanya terlalu kuat atau boros.
Namun apabila semua gedung berdiri tegak, beberapa gedung runtuh, maka kemungkinan salah perhitungan dalam perencanaan atau salah dalam pelaksanaan pembangunan.
Meskipun, SNI ini diperuntukkan khusus untuk bangunan agar tahan gempa, namun ruang lingkup SNI ini tidak berlaku untuk bangunan: struktur bangunan dengan sistem struktur yang tidak umum atau yang masih memerlukan pembuktian tentang kelayakannya; dan struktur jembatan (jalan raya dan kereta api), struktur reaktor energi, struktur bangunan keairan dan bendungan, struktur menara transmisi listrik, serta struktur anjungan pelabuhan, anjungan lepas pantai, dan struktur penahan gelombang.
Selain SNI 1726 : 2019, BSN juga telah menetapkan beberapa SNI terkait konstruksi bangunan tahan gempa lainnya diantaranya: SNI 1727:2020 Beban desain minimum dan kriteria terkait untuk bangunan gedung dan struktur lain; SNI 2847:2019 Persyaratan Beton Struktural untuk Bangunan Gedung dan Penjelasan.
Sebagai pelengkapnya terdapat SNI sebagai berikut : SNI 1729:2020 Spesifikasi Untuk Bangunan Gedung Baja Struktural, SNI 7972:2020 Sambungan Terprakualifikasi untuk Rangka Momen Khusus dan Menengah Baja Pada Aplikasi Seismik, SNI 7860:2020 Ketentuan Seismik Untuk Bangunan Gedung Baja Struktural, SNI 8369:2020 Praktik Baku Bangunan Gedung dan Jembatan Baja, SNI 8899:2020 Tata Cara Pemilihan dan Modifikasi Gerak Tanah Permukaan untuk Perencanaan Gedung Tahan Gempa, dan SNI 8140:2020 Persyaratan beton struktural untuk rumah tinggal.
Dengan perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan yang baik sesuai SNI 1726:2019, kita berharap dapat menciptakan konstruksi Gedung/bangunan yang kokoh serta dapat mencegah dan meminimalisir dampak yang besar akibat gempa. (Cak/Rls)
Post a Comment