JCW Serukan Jangan Pilih Paslon Yang Main Money Politics, Ini Alasannya
WARTAJOGJA.ID : Pilkada di tiga kabupaten DIY: Sleman, Bantul, dan Gunungkidul tinggal selangkah lagi yakni lusa 9 Desember 2020.
Publik pun diingatkan kembali saat menggunakan hak pilihnya nanti, tak memilih pasangan calon atau paslon yang dalam masa kampanyenya getol dengan aksi beli suara lewat money politics.
Hal itu diungkap aktivis Jogja Corruption Watch (JCW) Baharuddin Kamba saat berdiskusi dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Daerah Istimewa Yogyakarta
di Warung Rujak Cingur Mbah Lin Jalan Bhayangkara 43 Kota Yogyakarta.
"Kami ingatkan lagi pada warga di Kabupaten Sleman, Bantul, dan Gunungkidul agar tidak memilih paslon yang memainkan politik uang atau money politics apalagi paslon yang terindikasi mendompleng program pemeritah seperti bantuan sosial," kata Kamba.
Kamba mengatakan, selama ini pihaknya telah berkeliling dan menggelar aksi menolak politic uang itu di Kantor Bawaslu Sleman, Bantul, dan Gunungkidul. Aksi itu juga untuk dukungan pada Bawaslu di tiap kabupaten agar memproses pihak pihak baik timses atau pendukung paslon yang terbukti melakukan money politics.
"Aksi itu sebagai edukasi ke masyarakat karena pada dasarnya, politik uang menghasilkan kepala daerah yang korup," katanya.
Bawaslu DIY juga mencatat sejak 26 September- 5 Desember 2020, sudah ditemukan total 6.861 pelanggaran di tiga kabupaten yang akan menggelar Pilkada serentak di DIY.
Anggota Bawaslu Divisi Penanganan Pelanggaran, Sri Rahayu Werdiningsih menyebut pelanggaran itu khususnya dari alat peraga kampanye atau APK.
Di mana temuan tertinggi ada di Kabupaten Gunungkidul yang diikuti empat pasangan calon yakni sebanyak 3.396 pelanggaran APK. Disusul Kabupaten Sleman yang diikuti tiga pasangan calon yakni 2.649 pelanggaran dan Kabupaten Bantul sebanyak 816 pelanggaran.
Dari semua pelanggaran APK tiga kabupaten itu tak ada yang diproses hukum.
Dalam rincian laporan yang diterima dari Bawaslu Kabupaten, pelanggaran terbanyak APK di Gunungkidul oleh pasangan nomor urut 1, yakni 1.188 kasus. Disusul pasangan nomor urut 3 dengan 845 pelanggaran, paslon nomor 4 dengan 758 pelanggaran, dan paslon nomor 2 dengan 607 pelanggaran.
Dari Kabupaten Sleman, paslon nomor 3 melanggar 1.037 kasus, paslon nomor 1 dan 2 sama-sama melanggar 806 kasus. Di Bantul, paslon nomor 2 melanggar 412 kasus dan paslon nomor 1 dengan 404 kasus.
Sri juga menyampaikan bahwa Bawaslu, baik DIY maupun kabupaten, mendapatkan 30 pelanggaran. Bawaslu DIY menerima dua laporan, Sleman 9 laporan, Bantul 7 laporan, dan Gunungkidul 12 laporan.
"Dari 30 pelanggaran temuan dan laporan yang masuk, terdapat 9 laporan yang diduga masuk ranah pidana, namun tidak bisa ditindaklanjuti karena tidak adanya bukti," ujarnya.
Sri mengakui laporan itu tidak bisa ditindaklanjuti ke ranah pidana karena banyaknya hambatan dari berbagai aturan, seperti minimnya waktu pemeriksaan oleh Bawaslu, yakni maksimal lima hari.
Hambatan lain, menurut dia, berupa perbedaan sudut pandang atas penanganan kasus antara kepolisian dan kejaksaan yang tergabung di sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) dan kurangnya alat bukti.
"Laporan tentang video tidak bisa kami lanjutkan karena tidak sinkronnya keterangan saksi menjadi kendala. Kepolisian dan kejaksaan tidak bisa menjadikannya alat bukti. Jika pun dilanjutkan, video yang dilaporkan butuh diteliti di lab dan itu membutuhkan waktu yang lama," katanya.
Namun Bawaslu menilai kampanye di masa pandemi menjadi tantangan terberat. Pendukung dan paslon ingin bertemu massa, tapi aturan melarang. (Arifin)
Post a Comment