Telusuri Kelangkaan Pupuk, DPRD DIY Bentuk Pansus
WARTAJOGJA.ID: DPRD DIY membentuk panitia khusus (pansus) untuk menelusuri fenomena kelangkaan pupuk belakangan terakhir di DIY.
Pansus ini diketuai Danang Wahyu Broto dan sudah sepekan ini mulai bekerja mengumpulkan informasi dari pihak terkait.
“Persoalan pupuk ini cukup unik, ada gap antara luasan dan jumlah ketersediaan pupuk hasil regulasi pusat. Sehingga di daerah muncul masalah,” kata Danang dalam Forum Diskusi Wartawan DPRD DIY, Jumat (20/11/2020) yang dihadiri perwakilan gabungan kelompok tani (gapoktan), pimpinan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) DIY maupun ahli pertanian dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
Danang mengatakan pihaknya telah merespons keluhan para petani sehingga pansus itu langsung dibentuk.
Menurut dia, DIY sudah memiliki Perda Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
"Jadi pupuk sangat penting guna mendukung ketahanan pangan. Kami melihat sulitnya petani mencari pupuk berawal dari regulasi pusat," ujarnya.
Pemahaman petani terhadap komposisi pemukukan memang masih kurang. Petani ingin tanamannya tumbuh subur maka dipupuk sebanyak-banyaknya padahal tindakan itu keliru, bisa mempengaruhi tingkat kesuburan tanah dari waktu ke waktu.
Ketersediaan pupuk relatif ada namun saat petani mengaksesnya dengan kartu tani bisa melakukan. Hanya dengan kartu itulah petani bisa memperoleh pupuk bersubsidi. Sedangkan kartu hanya bisa dimiliki oleh mereka yang tergabung kelompok tani.
Di tengah kelangkaan pupuk, Danang prihatin muncul keluhan pupuk palsu sedikit merajalela. Inilah perlunya koordinasi dengan dinas terkait.
“Pansus belum puas. Jika masalah ini tidak clear kita akan susah mencari solusi. Tahun 2021 harus ada campur tangan dan solusi dari Pemda DIY,” ungkapnya.
Menurut Danang, kerja pansus dibatasi waktunya dan pada 12 Desember 2020 harus memberikan rekomendasi, solusi dan terobosan paling praktis agar petani terselamatkan dari krisis pupuk.
Dekan Fakultas Pertanian UGM, Jamhari, memaparkan strategi mengatasi kelangkaan pupuk di DIY. Menurut pria asli Bantul itu, berdasarkan kajian dan penelitian di lapangan tidak ada kelangkaan pupuk di tingkat distributor. “Yang ada adalah pembatasan pembelian urea bersubsidi. Kelangkaan muncul di petani dan dirasakan petani,” ujarnya.
Dari penelitian itu, kelangkaan terjadi karena petani over menggunakan pupuk.
Sebagai gambaran dia menjelaskan rata-rata penggunaan pupuk petani di Bantul.
Sesuai anjuran pemerintah, penggunaan urea aturannya 25-30 kg per 1.000 meter persegi. Di lapangan faktanya mencapai 76 kg. Penggunaan KCL ketentuannya 10 kg untuk setiap 1.000 meter persegi.
Lagi-lagi di lapangan penggunaannya mencapai 25 kg. Begitu pula TSP atau SP-36 dianjurkan cukup 10 kg tetapi petani menggunakan 25 kg untuk ukuran luas yang sama. “Kelebihannya rata-rata mencapai 400 persen padahal penggunaan urea yang tinggi tidak menjamin produksi,” kata Jamhari.
(Arifin)
Post a Comment