Dosen UMY Ini Ingatkan Fenomena Politik Gentong Babi Jelang Pilkada
Dosen Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Bambang Eka Cahya (kanan) ungkap fenomena Politik Gentong Babi yang marak jelang pilkada dalam diskusi Sabtu (29/8) |
WARTAJOGJA. ID : Dosen Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Bambang Eka Cahya mengungkap sisi gelap sistem politik yang marak terjadi jelang pemilihan kepala daerah di tanah air.
Ia membeberkan fenomena sebuah praktik kecurangan dan persaingan yang tak sehat itu, namun hingga kini sangat sulit tersentuh hukum karena selalu minim bukti. Biasanya praktik ini dijalankan kalangan inkumben yang di periode sebelumnya sudah menjabat dan punya akses pada anggaran daerah.
"Fenomena praktik licik jelang pilkada itu kerap disebut politik gentong babi yakni mengalihkan anggaran publik untuk keuntungan politiknya sendiri termasuk sampai membeli suara,” ungkap Bambang dalam diskusi media, Sabtu (29/08/2020).
Bambang buka bukaan, politik Gentong Babi ini sudah mulai terendus marak sejak 2005 silam dan jadi keluhan bagaimana anggaran publik disalahgunakan untuk keuntungan politik peserta pilkada.
Sebab ada banyak peluang di APBD dan APBN yang memang memungkinkan digeser untuk pemenangan pilkada.
Bambang mengatakan sampai saat ini memang dalam peraturan terkait pilkada masih ada ruang gelap yang kerap dimanfaatkan kandidat terutama petahana. Ruang-ruang tersebut luput dari aturan yang membuat para calon terutama petahana masuk dengan begitu mudah dengan memainkan anggaran.
Tiga kabupaten DIY yakni Sleman, Bantul dan Gunungkidul sendiri kini bersiap menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) 9 Desember mendatang. Calon-calon incumbent kembali maju dalam kontestasi akhir tahun nanti yang ternyata rawan melakukan penyalahgunaan kewenangan serta sumber daya anggaran.
Beberapa waktu belakangan, publik begitu akrab dengan bantuan sosial (bansos) akibat pandemi Covid. Ini disebut Bambang menjadi salah satu ruang yang dimanfaatkan para calon karena dibiayai negara.
“Rakyat kita pragmatis, diberi bantuan dia melihat siapa yang memberi bantuan. Ini menguntungkan petahana atau orang yang didukung petahana. Anggaran publik dialihkan untuk calon yang didukung. Saat ini di masa pandemi, bantuan sosial meningkat dan datanya meningkat signifikan. Jelang pilkada pula, ini ditengarai menjadi indikator politik gentong babi,” sambung dia.
Di wilayah DIY misalnya, saat ini mulai bermunculan spanduk sosialisasi program pemerintah namun dengan disertai foto citra diri yang secara semiotika tak berhubungan.
“Sayangnya kita tak punya aturan tentang hal itu. Namun bisa dicermati, dan jadi pendidikan politik untuk masyarakat. Salahnya di mana, menggunakan anggaran publik untuk keuntungan pihak tertentu,” ungkapnya lagi.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan DIY, Budi Masturi hampir selalu menemui kasus-kasus tersebut selama pemilu sejak beberapa tahun silam. Biasanya menurut Budi, calon incumbent yang diadukan melakukan praktik nir etika tersebut.
“Ini yang harus kita semua soroti dalam pilkada kedepan. Harapannya, masyarakat semakin terang dalam pendidikan politik dan media harus terus mengingatkan akan hal itu,” tandas Budi.
(Arifin)
Post a Comment