DPR RI Soroti Kebijakan PPDB Yang Berpotensi Matikan Sekolah Swasta
WARTAJOGJA.ID : Anggota Komisi X DPR RI My Esti Wijayanti tak lelah menyoroti soal carut marut pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2020 ini yang kembali dikeluhkan masyarakat luas.
Dalam pertemuan dengan puluhan perwakilan Kepala Sekolah SMA dan SMK Swasta se-Kabupaten Sleman Yogyakarta Senin 27 Juli 2020 di Joglo Ngangkring, Sidoagung Godean Sleman, anggota F-PDI Perjuangan itu menerima uneg-uneg dan keluhan para kepala sekolah terkait PPDB tahun ini.
"Persoalan utama yang dihadapi sekolah khususnya swasta ini masih soal PPDB, jika dibiarkan seperti ini terus sistemnya, sekolah swasta lama-lama bisa mati," ujar Esti.
Esti terutama menyoroti ketentuan anyar Kementerian Pendidikan Kebudayaan yang mengijinkan penambahan siswa dalam satu rombongan belajar (rombel). Menurut Esti kebijakan penambahan siswa dalam rombel itu buntutnya bisa panjang. Tak sekedar memperbanyak kuota siswa yang harusnya ke sekolah swasta masuk ke sekolah negeri.
"Tapi penambahan siswa pada rombel itu berdampak pada tidak idealnya rasio kegiatan belajar mengajar di kelas. Rasio yang harusnya 1:20 misalnya, sekarang jadi 1: 36. Rasio ini kalau untuk SMK sudah nggak efektif, satu guru harus mengawasi 36 siswa," kata dia.
Tak hanya dari penambahan siswa yang bakal membunuh sekolah swasta.
Kebijakan PPDB teranyar juga menimbulkan persoalan serius ketika timbul modifikasi sistem zonasi. Pola zonasi yang sebelumnya menerapkan jarak terjauh 5 kilometer, kini menjadi 10 kilometer.
"Habislah sekolah swasta kalau seperti itu caranya," ujar Esti.
Dalam pertemuan itu sejumlah kepala sekolah swasta memberikan data data perkembangan di sekolah mereka masing masing. Hampir tak ada sekolah yang mengalami penambahan siswa sesuai target yang diharapkan tahun ini.
"Apa kita mau membuat sekolah swasta itu ambruk dengan kebijakan PPDB ini?" tanya Esti.
Esti meminta pemerintah, khususnga Kementrian Pendidikan ingat, di sekolah swasta banyak tersebar tenaga pendidikan berikut dengan asetnya. Seharusnya pemerintah aware dengan kondisi itu. Termasuk memberi perhatian pada sekolah swasta.
"Perhatiannya seperti apa seharusnya yang diberikan pemerintah kepada swasta? Contoh saja Bosda, kenapa harus dibedakan jatahnya antara sekolah negeri dengan swasta? Kalau ada Bosda seharusnya sama antara swasta dan negeri," ujar dia.
Bahkan, sejumlah guru swasta pun belakangan mulai direkrut negeri sehingga sekolah swasta harus membayar lagi guru guru pengganti yang didatangkan.
Anggota Komisi X DPR RI My Esti Wijayanti bersama perwakilan kepala sekolah swasta se-Sleman (27/7/2020) |
"Jadi ini PR besar kita, saya akan menyampaikan kondisi ini ke Mendikbud (Nadiem Makarim) dan jajarannya," ujar Esti yang didampingi kandidat calon wakil bupati Sleman Danang Maharsa.
Esti menambahkan, tidak seharusnya kebijakan yang dibuat pemerintah- dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan- hanya dengan melihat kasus itu dari satu wilayah saja. Misalnya dari kasus yang muncul di ibukota Indonesia, DKI Jakarta saja.
Hal itu diungkapkan Esti ketika dalam penerapan belajar daring akibat pandemi Covid-19 ini pihaknya menemukan di Wonosobo Jawa Tengah ada siswa yang kesulitan mengikuti pembelajaran itu karena tak memiliki gawai atau gadget yang dibutuhkan.
"Kebijakan yang diambil harus melihat Indonesia secara keseluruhan, yang strata ekonomi dan akses untuk masyarakatnya berbeda-beda," pungkas Esti.
(Cak/Rls)
Post a Comment